Minggu, 16 Desember 2012

Hukum Dan Keadilan di Indonesia



Sejak berakhirnya era Orde Baru, Indonesia telah menjalankan berbagai upaya reformasi hukum dan kelembagaan yang bertujuan untuk menciptakan lembaga penegakan hukum yang mampu menghasilkan pemerintahan yang bersih. Adanya penyelenggaraan kemandirian yudisial melalui yang disebut dengan ”peradilan satu atap”, pengenalan hak menguji undang-undang melalui Mahkamah Konstitusi, dan terbentuknya berbagai peradilan khusus dan komisi pengawas terhadap lembaga yudisial, kejaksaan, dan kepolisian, merupakan perubahan dalam skala yang besar.

Kendati adanya skala reformasi dan investasi yang berarti dari donor, usaha yang berkesinambungan tetaplah diperlukan untuk menjamin bahwa perubahan kelembagaan tersebut dapat membawa keadilan lebih dekat kepada masyarakat. Tingginya apatisme masyarakat terhadap sistem hukum formal menyebabkan masyarakat lebih memilih sistem keadilan informal, yang mana seringkali bersifat diskriminatif serta tidak sejalan dengan jaminan konstitusional terhadap HAM. Lembaga penegakan hukum masih menghadapi tantangan untuk menyelesaikan atau mencegah masalah yang serius yang berpengaruh terhadap berjalannya pemerintahan lokal serta pengembangan perekonomian.

Pada kenyataannya, inisiatif untuk mereformasi lembaga penegakan hukum lebih banyak berfokus pada lembaga negara formal. Akan tetapi, keadilan bukanlah semata-mata berada dalam ranah negara. Pemimpin desa dan adat yang merupakan aktor penyelesaian sengketa alternatif utama di Indonesia, memainkan peranan aktif terhadap lebih dari 75% sengketa. Namun, institusi tersebut telah dipasung selama 30 tahun di bawah pemerintahan yang sangat sentralistik. Kebutuhan untuk memperoleh keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan, khususnya minoritas etnis dan agama serta perempuan, seringkali tidak diperhatikan dalam sistem penyelesaian sengketa di tingkat desa. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dan perhatian lebih.

Kejahatan, konflik tanah, dan sengketa keluarga merupakan tiga jenis sengketa yang paling lazim dilaporkan oleh masyarakat. Ketiga isu yang terkait dengan lembaga penegakan hukum tersebut berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat Indonesia sehari-hari. Karena itu, amatlah penting untuk mengatasinya secara serempak baik dalam waktu yang lebih panjang melalui reformasi lembaga penegakan hukum dengan skala yang lebih luas maupun melalui pelaksanaan segera program-program yang memungkinkan komunitas rentan untuk dapat menegakkan hak-hak dan mempertahankan mata pencaharian mereka. Penyediaan layanan hukum bagi masyarakat miskin, rentan, dan marjinal, berguna untuk membangun dukungan publik terhadap permintaan reformasi hukum serta berperan terhadap proses perubahan yang sistematis dari bawah.
Terkait dengan isu-isu tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (Stranas). Strategi ini mencoba menguji betapa persoalan-persoalan yang berhubungan dengan negara hukum (rule of law) memiliki keterkaitan dengan kemiskinan. Stranas meyoroti sebuah pendekatan yang memperkuat masyarakat miskin untuk menyadari hak-hak dasar mereka, baik melalui mekanisme formal maupun informal, sebagai sebuah cara untuk mengentaskan kemiskinan. Stranas juga menekankan bahwa reformasi penegakan hukum membutuhkan tidak hanya solusi teknis hukum semata, namun juga pendekatan sosio-politik. Saat ini, beberapa rekomendasi pokok dari Stranas sedang disatukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2010-2014).
Stranas memiliki rencana aksi yang mencakup delapan area kunci:
  1. Sektor Reformasi Yudisial dan Hukum
  2. Pemberian Bantuan Hukum
  3. Tata Pemerintahan Lokal
  4. Tanah dan Sumber Daya Alam
  5. Isu Gender
  6. Hak-Hak Anak
  7. Reformasi Perburuhan, dan
  8. Pemberdayaan Masyarakat Miskin dan yang Termarjinalkan



Keberagaman tradisi hukum menciptakan kompleksitas yang berdampak pada isu-isu aksesibilitas dan keadilan. Walaupun Konstitusi Indonesia secara gamblang menyatakan Indonesia sebagai negara kesatuan yang berdasarkan pada hukum, kerangka normatifnya memperbolehkan adanya hukum negara, agama, dan adat yang dapat menjadi saling tumpang tindih. Beberapa studi menyiratkan bahwa di mana terdapat perbaikan kinerja lembaga penegakan hukum, dikarenakan berbagai faktor, hukum tersebut tetap tidak dapat diakses oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Adanya aktor penyelesaian sengketa lokal, termasuk aparat desa serta pemimpin adat dan agama, mengisi kekurangan tersebut dengan adanya aksesibilitas dan legitimasi, namun acapkali mengorbankan keadilan. Mereka memiliki keterbatasan soal bagaimana menghadapi perempuan dan kelompok rentan, termasuk di antaranya minoritas etnis. Batasan kewenangannya juga tidak jelas. Program lembaga penegakan hukum sebaiknya memusatkan diri secara paralel kepada persoalan bagaimana meningkatkan kualitas keadilan dari mekanisme non-negara, khususnya dengan memastikan adanya kesesuaian yang lebih dekat dengan aturan konstitusi, dan memperkuat akses mekanisme non-negara terhadap mekanisme formal, yang serta-merta dapat meningkatkan akuntabilitas mekanisme non-negara.


Penguatan mekanisme akuntabilitas, termasuk dalam struktur pemerintahan lokal. Pemberantasan korupsi terus menjadi platform agenda pembangunan Indonesia. Adanya peningkatan berarti pada pengeluaran publik di level daerah setelah desentralisasi membutuhkan mekanisme akuntabilitas yang kuat untuk menjamin efektivitas pendayagunaan sumber daya. Studi mengenai korupsi di tingkat lokal dan berkaca pada pengalaman beberapa program seperti PNPM, menunjukkan pentingnya peran komunitas dan masyarakat sipil untuk memantau kinerja pemerintah. Namun, masih terdapat keterbatasan kapasitas, khususnya dalam hal investigasi pelanggaran korupsi, pemahaman dan pemantauan proses hukum, serta untuk mengatasi ketimpangan relasi kekuasaan di tingkat lokal.


Kesadaran hukum dan akses informasi hukum. Nampaknya masyarakat miskin masih menghadapi keterbatasan pemahaman soal isu-isu hukum, termasuk kaitannya dengan hak-hak mereka. Hal ini menyebabkan kemampuan mereka untuk memperoleh dokumen-dokumen hukum pokok, seperti akta kelahiran, KTP, dan surat nikah, serta akses pelayanan pemerintah, seperti kesehatan dan pendidikan, menjadi terbatas.


Memajukan pengembangan kepastian hukum dan kebijakan berbasis pengalaman. Interaksi rumit antara sistem negara dan non-negara serta menjamurnya peraturan perundang-undangan di tingkat daerah dan nasional pasca desentralisasi mengakibatkan terjadinya ketidakpastian pada kerangka hukum. Sebagai contoh, kira-kira sebanyak 8% peraturan daerah yang ditelurkan pada 2007 ditemukan tidak sesuai dengan hukum nasional, yang mana Menteri Keuangan memperkirakan adanya persentase yang lebih tinggi lagi terhadap peraturan daerah yang terkait dengan pajak dan retribusi. Karena itu, ada sebuah kebutuhan untuk mendukung harmonisasi, baik lintas level pemerintah maupun antara mekanisme negara dengan non-negara. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman analitis yang kuat terhadap isu-isu tersebut dan kumpulan bukti-bukti di lapangan, termasuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dan kendala-kendala pada level lokal yang menjadi dasar bagi pengembangan kebijakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar