Selasa, 19 Februari 2013

Rahasia Umum : Budaya Suap Penerimaan CPNS

Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat kebiasaan suap menyuap atau sogok menyogok dalam penerimaan CPNS. Menurut sumber yang dirahasiakan, persatu nomer CPNS rata-rata dihargai 175 juta, semisal kepala daerah meminta 1.500 CPNS dalam satu periode penerimaan. Jika dikalkulasikan yakni 175 juta dikali 1.500 sekitar 262.5 milliar.

Kasus yang terjadi pada akhir 2012 di Provinsi Bali dapat menjadi contoh yakni saat pengumuman hasil tes CPNS kecurangan dengan memanipulasi nilai sehingga peserta yang gugur dapat dinyatakan lulus oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan) .
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi secara gamblang menjelaskan bahwa suap salah satu perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan korupsi.

Dalam UU ini terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang diklasifikasikan kedalam 7 hal, yakni yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, pengelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Diantara ketujuh hal tersebut kasus suap menyuap jadi poin yang paling mendominasi dan paling banyak diatur di UU.
Padahal telah jelas disebutkan bahwa suap merupakan salah satu tindak pidana korupsi yang dapat dipidanakan, tampaknya penegakkan hukum perlu dipertegas.

Selain itu, saat ini Pemerintah pusat mewacanakan untuk menghapus kewenangan kepala daerah sebagai pejabat yang bertanggung jawab dalam penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS). 

Wakil Ketua Tim Independen Komite Reformasi Birokrasi Sofian Effendi menjelaskan, dicabutnya kewenangan penerimaan PNS dari pejabat tertinggi di suatu daerah ini karena maraknya praktek jual beli kursi PNS yang hingga saat ini tidak terhindarkan.

Dengan bobroknya penerimaan CPNS di daerah mencerminkan bobroknya pelayanan PNS yang diberikan, sehingga perlu adanya controling terhadap penerimaan CPNS baik di pusat dan daerah. Hal ini dapat dilakukan pemerintah bekerjasama dengan aparat dan dibantu oleh masyarakat.

Kontras Pembangunan Gedung Wakil Rakyat dengan Kemiskinan Masyarakat Indonesia

Rencana dewan perwakilan rakyat untuk membangun sebuah gedung yang mewah sangatlah berdanding terbalik dengan kinerja mereka. Pembangunan gedung baru banyak orang yang menilai itu hanya menghambur-hamburkan uang Negara. Para anggota DPR berdalih pembangunan gedung baru itu untuk meningkatkan kinerja mereka. Menurut akal sehat seorang yang berprestasi itu boleh di kasih hadiah, akan tetapi jika seseorang tidak berprestasi bagaimana akan diberi hadiah. Sekalipun diberi hadiah alasannya apa? 
Pembangunan gedung DPR yang baru sangat kontras dengan realitas kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Tentu akan lebih baik jika dana yang digunakan untuk membangun gedung mewah tersebut digunakan untuk kesejahtraan rakyatnya. Tidak munafik banyak masyarakat yang masih hidup dibawah garis kemiskinan. Pemerentah dan para wakil rakyat tidak hanya menilai masyarakatnya lewat tulisan atau laporan saja, akan tetapi lihatlah secara langsung ke tempat-tempat kumuh yang banyak terdapat di ibukota. Banyak hal yang bisa dilakukan wakil rakyat dan para pejabat pemerintah tidak hanya memikirkan diri sendiri akan tetapi cobalah anak-anak yang miskin yang berprestasi itu dikasih kesempatan untuk mencicipi nikmatnya bangku sekolah maupun bangku kuliah. Banyak mansyarakat miskin yang pandai, akan tetapi karna terbentur masalah dana ia hanya menjadi pekerja kasar, ngamen, dan lain-lain. 
Masyarakat miskin kian hari kian menjamur. Hal itu bisa dilihat dalam realita yang ada. Banyak masyarakat Indonesia miskin, tidak hanya miskin dari segi financial akan tetapi miskin dalam hal soail dan tengang rasa. Kebanyakan masyarakat kota lebih mementingkan kehidupan pribadi dari pada para saudara-saudaranya yang hidup dibawah kolong jembatan. 
Apakah mungkin para wakil rakyat ini merasakan apa yang di rasakan oleh rakyatnya. Ada sebagian dari para wakil rakyat yang datang saat rapat tentang rakyat hanya mainan handphon dengan membuka twiter ataupun facebook. Lalu bagaimana ia akan mewakili rakyatnya jika saat rapat hanya membuka jejaring sosial. 
Pembaungunan gedung baru haruslah sesuai dengan apa yang ia capai. Dapat kita lihat pembahasan rancangan undang-undang keistimewaan Yogyakarta sampai saat ini hanya jalan ditempat, dan masih banyak lagi rancangan undang-undang yang lain yang masih terbengkalai. Apa jadinya Indonesia tercinta ini jika para wakil rakyatnya hanya memperkaya diri sedangkan masyarakat yang memilihnya hidupnya tidak tercukupi, tentunya sangatlah tragis.
Cobalah pawa wakil rakyat ini mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan dan apa yang telah disediakan oleh Negara, memang benar jika di fikir manusia itu tidak ada cukupnya jika dituruti semua keinginannya, begitu pula para wakil rakyat disenayan. 
Jika memang ingin membangun gedung baru yang megah selesaikan terlebih dahulu century dan mafia pajak yang ada. Jika hal itu telah terselesaikan tentunya pembangunan gedung baru itu tidak akan menuai banyak protes dari masyarakat. Masyarakat akan memberikan apresiasi kepada wakilnya jika dapat menyelesaikan kasus-kasus yang merugikan Negara triliunnan tersebut.

Uniknya Hukum di Indonesia

“Hukum di Indonesia bisa dibeli”
Demikian komentar lepas seorang teman dalam sebuah obrolan. Apa benar demikian?
Jika demikain berapa kira-kira harganya? Lebih mahal dari harga sebuah sandal jepit tentunya. Hukum kok dibandingkan dengan sandal jepit. Yah….sandal jepit itu murah. Karena murah, rakyat kecil membelinya.
Kalau hukum? Hukum amat mahal. Terlalu mahal untuk rakyat kecil. Makanya, rakyat tidak bisa membeli hukum. Orang yang berrduit bisa membelinya.
Di Indonesia ini hukum bisa dibeli. Jangan heran jika hukum kadang-kadang ‘bergigi’ untuk orang tak berduit. Yang berduit malah tampak ‘kebal’ hukum. Memang mereka tampak kebal hukum karena hukum bisa dibeli. Merekalah pelanggannya.
Kalau hukum diperjualbelikan maka keberadaaan hukum bisa relatif. Hukum menjadi tidak pasti. Padahal hukum mestinya pasti. Sebab, hukum mengatur kehidupan orang banyak. Mengatur dengan peraturan yang pasti. Bukan peraturan yang bisa diubah-ubah sesuai besarnya uang.
Yahh Indonesia masih jauh. Kapankah hukum bisa berfungsi dengan baik? Ketika hukum itu berlaku untuk semua orang, kaya dan miskin, tanpa embel-embel uang.