Sudah
menjadi rahasia umum bahwa terdapat kebiasaan suap menyuap atau sogok
menyogok dalam penerimaan CPNS. Menurut sumber yang dirahasiakan,
persatu nomer CPNS rata-rata dihargai 175 juta, semisal kepala daerah
meminta 1.500 CPNS dalam satu periode penerimaan. Jika dikalkulasikan
yakni 175 juta dikali 1.500 sekitar 262.5 milliar.
Kasus
yang terjadi pada akhir 2012 di Provinsi Bali dapat menjadi contoh
yakni saat pengumuman hasil tes CPNS kecurangan dengan memanipulasi
nilai sehingga peserta yang gugur dapat dinyatakan lulus oleh
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan) .
Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana korupsi secara gamblang menjelaskan bahwa suap salah satu
perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan korupsi.
Dalam
UU ini terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang diklasifikasikan
kedalam 7 hal, yakni yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara,
suap-menyuap, pengelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang,
benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Diantara ketujuh
hal tersebut kasus suap menyuap jadi poin yang paling mendominasi dan
paling banyak diatur di UU.
Padahal telah
jelas disebutkan bahwa suap merupakan salah satu tindak pidana korupsi
yang dapat dipidanakan, tampaknya penegakkan hukum perlu dipertegas.
Selain
itu, saat ini Pemerintah pusat mewacanakan untuk menghapus kewenangan
kepala daerah sebagai pejabat yang bertanggung jawab dalam penerimaan
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Wakil
Ketua Tim Independen Komite Reformasi Birokrasi Sofian Effendi
menjelaskan, dicabutnya kewenangan penerimaan PNS dari pejabat tertinggi
di suatu daerah ini karena maraknya praktek jual beli kursi PNS yang
hingga saat ini tidak terhindarkan.
Dengan bobroknya penerimaan CPNS di daerah mencerminkan bobroknya pelayanan PNS yang diberikan, sehingga perlu adanya controling
terhadap penerimaan CPNS baik di pusat dan daerah. Hal ini dapat
dilakukan pemerintah bekerjasama dengan aparat dan dibantu oleh
masyarakat.