Jurang
kesenjangan di negeri ini memang masih begitu tajam. Suatu ketika saya
jalan-jalan di kawasan pinggiran (kawasan kumuh) padat penduduk di
Jakarta. Di sana banyak hal dan fenomena sosial yang berhasil saya amati
serta rekam melalui mata kepala saya sendiri. Dan pada akhirnya saya
berkesimpulan bahwa masih nampak jurang kesenjangan yang begitu tajam di
sana. Bayangkan saja, di sisi lain berdiri bangunan-bangunan megah
seperti mall, pusat perbelanjaan, pusat hiburan dan hotel-hotel
berbintang. Namun di sudut lain tidak jauh dari bangunan-bangunan nan
megah itu ada sejuta kisah lara yang terpancar dari bangunan-bangunan
kumuh di pinggiran rel ataupun kali.
Ini
kenyataan kawan, bukan sekedar kisah telenovela ataupun acara reality
show. Saya melihat sendiri, beberapa anak kecil sedang bermain di
tengah-tengah rel lintasan kereta api yang masih aktif. Anak kecil yang
lainnya nampak sedang memulung sampah dan mengais sisa-sisa makanan. Ada
pula yang menenteng gitar sambil ngamen demi sekeping uang recehan.
Mana mungkin mereka sempat terpikirkan untuk sekolah? Kalau untuk
sekedar makan saja masih harus berjuang sendiri mencarinya di tengah
kerasnya ibu kota. Sungguh ironis memang. Itulah salah satu wajah
kesenjangan sosial di negeri ini yang berhasil saya potret menurut
pengalaman dan persepsi saya pribadi. Belum lagi jika dibandingkan
dengan kesenjangan sosial di kepulauan Indonesia lainnya. Seperti Papua,
Nusa Tenggara, dst.
Menurut
saya masalah kesenjangan sosial adalah salah satu akar permasalan
terjadinya kekerasan, kesalahpahaman dan kericuhan di negeri ini. Ketika
dalam sebuah masyarakat nampak terjadi kesenjangan sosial yang begitu
tajam, maka biasanya akan semakin besar pula masyarakat tersebut
berisiko. Hal ini karena adanya rasa saling iri dan ketidakpuasan pada
masyarakat yang merasa dirugikan, dimarjinalkan, ataupun merasa
tertindas dan diperbudak. Oleh karena itu sudah selayaknya diwujudkan
kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Coba kita
perhatikan, masyarakat manapun pasti lebih menyukai seorang pemimpin
yang merakyat, bersahaja, dan friendly. Artinya pemimpin tersebut
memposisikan dirinya sama setara dengan rakyatnya. Tidak ada yang
namanya istilah atasan-bawahan, rakyat jelata, golongan orang elit, dst.
Semuanya mesti diposisikan sama setara, kecuali dalam batasan
kewenangan politik sesuai konstitusi yang ada. Untuk selebihnya,
mestinya seorang pemimpin harus mampu memposisikan dirinya sebagai
sahabat bagi rakyat yang “sama setara”. Jadi tidak akan ada rasa
canggung ketika rakyat ingin menyampaikan uneg-unek ataupun aspirasi.
Menurut
pandangan saya, sulitnya mewujudkan kedamaian di negeri ini juga karena
belum terwujudnya kesetaraan yang berkeadilan sosial. Misalkan saja saya
ambilkan contoh beberapa wilayah di tanah air yang rawan bentrok. Pada
umumnya ternyata di sana juga masih terjadi kesenjangan sosial.
Kesetaraan yang berkeadilan sosial menurut saya adalah salah satu
strategi jitu dan kunci untuk mewujudkan kedamaian/perdamaian. Saran
saya, bagi para pemimpin; mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten,
provinsi hingga bahkan pusat, sebaiknya bersama-sama merumuskan
kebijakan-kebijakan strategis dan langkah-langkah teknis untuk
mewujudkan kesetaraan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar